Tag Archive | allah swt

Jangan Putus Harapan dari Meraih Ampunan

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

  قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Tidaklah ada seorang manusia kecuali pasti pernah terjatuh dalam dosa dan kesalahan. Namun demikian, tidak sepatutnya bagi anak cucu Adam putus harapan dan enggan memohon ampun kepada Sang Khalik. Karena Dia pasti akan memberikan ampunan, walaupun dosa-dosa manusia itu sebanyak buih di lautan. Siang dan malam ampunan-Nya senantiasa terbentang, untuk hamba-Nya yang memohon ampun dengan ketulusan. Itulah kemurahan Ar-Rahman, kepada hamba-Nya yang beriman.

Ayat (dalam surat Az-Zumar: 53) yang menjadi topik pembahasan kita kali ini merupakan salah satu ayat yang menunjukkan betapa luasnya kasih sayang Allah. Sebesar apapun dosa manusia, jika dia mau jujur untuk mengakui kesalahannya, kemudian bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya taubat, maka ampunan dan rahmat-Nya pasti akan diberikan kepada sang hamba.

Sebab Turunnya Ayat

Shahabat ‘Abdullah bin ‘Abbas pernah mengabarkan bahwa ada sekelompok orang dari kalangan musyrikin yang telah melakukan banyak pembunuhan dan perzinaan. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya apa yang engkau katakan dan engkau dakwahkan sangat baik, kiranya engkau memberitahu kami apa yang bisa menjadikaffarah (penghapus dosa) atas perbuatan-perbuatan kami tersebut?”

Seketika itulah, Allah menurunkan ayat-Nya (yang artinya),

“Dan orang-orang yang tidak beribadah kepada sesembahan yang lain (selain Allah) bersamaan dengan beribadah kepada Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina. Barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosanya.” (QS. Al-Furqan: 68)

Dan ayat-Nya (artinya),

“Katakanlah: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53) (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Sebab turunnya ayat di atas menunjukkan bahwa dosa-dosa besar yang telah mereka lakukan (kesyirikan, pembunuhan, dan perzinaan) akan terhapus dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut, bertaubat, beriman setelah sebelumnya berada di atas kekufuran dan kesyirikan, kemudian mengiringinya dengan amal shalih. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam ayat setelahnya (artinya):

“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih, maka kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqan: 70)

Dengan demikian, terjawablah pertanyaan mereka tersebut. Jadi, sebesar apapun dosa yang dilakukan, jangan berputus asa untuk meraih ampunan-Nya. Tentang ayat 53 dalam surat Az-Zumar ini, al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ayat ini merupakan seruan kepada semua pelaku maksiat, baik dari kalangan orang-orang kafir maupun selain mereka, untuk bertaubat dan kembali kepada Allah. Ayat ini juga mengabarkan bahwa Allah akan mengampuni semua dosa bagi orang yang bertaubat dan meninggalkan dosa tersebut.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir)

Penjelasan Ayat

  قُلْ

“Katakanlah.”

Ini perintah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya yang mengemban dakwah dan menyeru umat manusia kepada kebenaran. Mereka diperintah oleh Allah untuk mengatakan dan menyampaikan kepada para hamba sebuah kalam-Nya yang suci:

يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ

“Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri.”

Yaitu hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang telah berbuat dosa dan maksiat. Dikatakan sebagai orang yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri karena orang yang melakukan kemaksiatan pada hakekatnya telah menjerumuskan diri mereka sendiri kepada jurang kebinasaan. Mereka telah berbuat zalim dan aniaya terhadap dirinya sendiri.

Firman-Nya,

لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ

“Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.”

Sehingga kalian tidak mengharap rahmat dan ampunan-Nya. Jangan sampai kalian mengatakan, “Kesalahan-kesalahan kami sudah terlampau banyak, dosa-dosa kami sudah sangat besar sehingga tidak mungkin Allah akan mengampuni kami.” Atau ucapan semisal itu yang menunjukkan keputusasaan dan rasa pesimis dari mendapatkan kasih sayang-Nya. Sungguh sikap seperti ini justru akan semakin menumpuk dosa dan melahirkan berbagai kejelekan, di antaranya:

Pertama, sikap seperti ini akan menyebabkan seseorang terus-menerus berada dalam jurang kemaksiatan. Ia tidak mau mengentaskan diri dan keluar dari jurang yang membinasakan tersebut karena di hatinya sudah tertanam bahwa Allah tidak akan mengampuni dosanya.

Kedua, sikap seperti ini menunjukkan su’uzhan (buruk sangka) dia terhadap Penciptanya, Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ketahuilah bahwa di antara bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya adalah pemberian ampunan kepada siapa saja yang memohonnya.

Ketiga, sikap berputus asa dari rahmat Allah subhanahu wa ta’ala itu merupakan sikap tercela, sebagaimana firman Allah ketika mengisahkan perkataan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam (artinya):

“Dia (Nabi Ibrahim) berkata: Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-nya kecuali orang-orang yang sesat.” (QS. Al-Hijr: 56)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang perbuatan apa saja yang digolongkan dosa besar. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Syirik kepada Allah, berputus asa dari rahmat Allah, dan merasa aman dari adzab Allah.” (HR. ath-Thabarani, al-Bazzar, dan selainnya)

Firman-Nya,

إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا

“Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.”

Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha hamba-Nya yang ingin bertaubat. Sebesar dan sebanyak apapun dosa itu, Allah akan mengampuninya dengan taubat.

Satu masalah penting yang harus dipahami dengan benar. Sepintas, ayat ini bertentangan dengan ayat yang lain (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang di bawah itu bagi barangsiapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisa’: 48). Pada ayat ini, dengan tegas Allah menyatakan tidak akan mengampuni dosa syirik.

Tidak ada pertentangan sedikit pun di dalam Al-Qur`an antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Ayat dalam surat An-Nisa’: 48 menerangkan bahwa dosa syirik -yang merupakan dosa paling besar- tidak akan diampuni oleh Allah jika pelakunya belum bertaubat darinya. Adapun perbuatan yang tingkatan dosanya di bawah syirik, maka ini di bawah kehendak Allah. Jika berkehendak, Allah akan mengampuninya, dan jika tidak, maka dengan keadilan-Nya, pelakunya berhak mendapatkan adzab dari Dzat Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Namun apabila pelaku kesyirikan itu sudah bertaubat, maka sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman (artinya), “Wahai anak Adam, kalau dosa-dosamu (sangat banyak) sampai mencapai awan di langit, kemudian kamu meminta ampun kepada-Ku, pasti Aku akan mengampunimu dan Aku tidak  peduli. Sesungguhnya jika kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian kamu datang menjumpai-Ku (ketika meninggal) dalam keadaan tidak menyekutukan-Ku dengan sesuatu pun, maka Aku akan memberikan ampunan sepenuh bumi.” (HR. at-Tirmidzi)

Dipahami dari hadits qudsi ini, bahwa Allah akan mengampuni dosa hamba-Nya kalau si hamba itu tidak berbuat syirik. Berarti dosa syirik itu tidak terampuni kalau pelakunya meninggal dalam keadaan belum bertaubat darinya dan masih membawa dosa tersebut.

Jangan Menganggap Remeh Dosa

Ketika seseorang telah yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala pasti mengampuni semua dosa, dan tidak boleh bagi seorang pun berputus asa dari rahmat-Nya, maka jangan sampai terseret oleh tipu daya setan yang lain, yaitu menganggap remeh perbuatan dosa sehingga menjadi bermudah-mudahan dalam melakukannya. “Kan Allah Maha Pengampun, gampang nanti tinggal taubat, beres…”  Ini adalah bisikan-bisikan setan yang terus dihembuskan ke dalam hati-hati manusia.

Pembaca yang dirahmati oleh Allah. Sungguh sekecil apapun perbuatan hamba, baik ataupun buruk, akan tercatat di sisi Allah dan pelakunya akan melihat akibat dari perbuatannya itu. Jangankan dosa besar, dosa kecil pun kalau terus dilakukan oleh seorang hamba, maka akan terus bertumpuk pada dirinya dan akhirnya menjadi dosa besar yang akan membinasakannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوْبِ، فَإِنَّهُنَّ يَجْتَمِعْنَ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى يُهْلِكْنَهُ

“Hati-hati kalian dari dosa-dosa yang dianggap remeh, karena dosa-dosa tersebut akan terkumpul pada diri seseorang sampai akhirnya bisa membinasakannya.” (HR. Ahmad, ath-Thabarani)

Demikianlah ajaran Islam yang penuh rahmat. Dosa apapun akan terampuni dengan taubat. Namun jangan sekali-kali menganggap enteng perbuatan maksiat. Bersegeralah mengingat Allah dan beramal kebajikan sebelum terlambat. Semoga Allah memberikan kepada kita kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kabulkanlah permohonan kami Yaa Kariim, Yaa Mujiibad da’awaat.

Wallaahu a’lam bish shawab.

Oleh: Ustadz Abu Abdillah Kediri hafizhahullah

Beribadah Hanya kepada Allah SWT.

Wahai Saudaraku, Beribadahlah hanya kepada Allah subhanahu wa ta’ala tidak kepada yang Lain

Kalimat Tauhid لاَ إِلهَ إلاَّ الله merupakan kalimat yang didakwahkan pertama kali oleh para rasul kepada umat mereka. Semenjak rasul pertama hingga rasul terakhir dakwah mereka sama, yaitu mengajak umat beribadah hanya kepada Allah satu-satunya, dan meninggalkan segala peribadahan kepada selain Allah.

Allah ‘azza wa jalla berfirman:

“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah kepada Allah (saja), dan jauhilah Thaghut.” (QS. An-Nahl: 36)

Pada ayat di atas, Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa dakwah setiap rasul adalah mengajak beribadah kepada Allah saja, dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya. Inilah makna kalimat tauhid. Jadi dakwah dan agama para rasul adalah satu, yaitu mengesakan (mentauhidkan) Allah dalam ibadah.

Perhatikan dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan), “Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepada mereka azab yang pedih”. Nuh berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kalian, (yaitu) beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku. (QS. Nuh: 1-3)

Pada ayat lainnya, dakwah Nabi Nuh ‘alaihis salaam diterangkan sebagai berikut:

“Agar kalian tidak beribadah kecuali kepada Allah. Sesungguhnya aku takut kalian akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan.” (QS. Hud: 26)

Perhatikan dakwah Nabi Hud ‘alaihis salaam:

“Dan kepada kaum ‘Ad (kami utus) saudara mereka, Nabi Hud. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Kalian hanyalah mengada-adakan saja.” (QS. Hud: 50)

Perhatikan dakwah Nabi Shalih ‘alaihis salaam:

“Kepada kaum Tsamud (kami utus) saudara mereka, Nabi Shalih. Ia berkata, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (yang haq) selain Dia. Dialah yang telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, sesungguhnya Rabb-ku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS. Hud: 61)

Perhatikan pula dakwah Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam:

“Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku”. Dan (lbrahim ‘alaihis salaam) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu.” (QS. Az-Zukhruf: 26-28)

Demikian pula dakwah Nabi ‘Isa ‘alaihis salaam:

“Padahal Al-Masih (sendiri) berkata: “Wahai Bani Israil, beribadahlah kalian kepada Allah Rabb-ku dan Rabb kalian.” Sesungguhnya orang yang menyekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempat tinggalnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim (musyrik) itu seorang penolong pun. (QS. Al-Maidah: 72)

Masih banyak lagi contohnya, semua para rasul tersebut berdakwah kepada satu kalimat yang sama, yaitu beribadah kepada Allah satu-satu-Nya tiada sekutu bagi-Nya dan tinggalkan segala peribadatan kepada selain Allah.

Demikian pula dakwah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang Allah terangkan dalam firman-Nya,

“Katakanlah, “Sesungguhnya aku hanya beribadah kepada Rabb-ku dan aku tidak menyekutukan sesuatu pun dengan-Nya.” (QS. Al-Jin: 20)

Demikianlah, kalimat tauhid memiliki kedudukan yang sangat penting. Karenanya Allah menciptakan langit dan bumi, karenanya Allah mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya, karenanya terdapat garis pemisah antara mukmin dan kafir, karenanya Allah tegakkan jihad fi sabilillah, karenanya Allah tegakkan neraca keadilan pada hari kiamat kelak, dan karenanya pula Allah sediakan al-Jannah (surga) dan an-Nar (neraka).

Maka seorang muslim dituntut untuk memahami makna kalimat tauhid ini. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah ‘alaihis salaam dalam firman-Nya,

“Maka ketahuilah (ilmuilah) bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak di ibadahi melainkan Allah.” (QS. Muhammad: 19)

Al-Imam al-Biqa’i rahimahullah berkata: “Sesungguhnya ilmu tentang (kalimat) Laa ilaaha illallah (لاَ إِلهَ إِلاَّ الله) ini merupakan ilmu yang paling agung yang dapat menyelamatkan dari kengerian di hari kiamat.

Makna Laa ilaaha illallah

Setiap mukmin pasti mengikrarkan kalimat tauhid tersebut dengan lisannya. Maka kalimat tersebut tentunya tidak hanya semata-mata ucapan di lisan saja, namun harus disertai dengan ilmu dan keyakinan tentang maknanya, serta mengamalkan konsekuensinya.

Makna kalimat ini adalah sebagaimana dakwah yang diserukan oleh para rasul di atas, yaitu tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata.

Kalimat لاَ إِلهَ إِلاَّ الله bila ditinjau secara harfiah bermakna:

  • لاَ (Laa)   : Tidak ada, atau tiada
  • إله (Ilaaha) : اَلإلَهُ (Ilah) adalah sesuatu yang hati ini rela untuk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pemujaan, kepasrahan, pemuliaan, pengagungan, pengabdian, perendahan diri, rasa takut dan harapan, serta penyerahan diri.

Jadi ilah maknanya adalah sesuatu yang diibadahi, atau dengan kata lain ilah bermaknama’bud (sesuatu yang diibadahi)

  • إلاَّ (illa)   : kecuali, atau melainkan
  • الله (Allah) : Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Allah, Dialah yang mempunyai hakuluhiyyah (hak sebagai ilah) dan hak untuk diibadahi atas seluruh makhluk-Nya.”

Adapun bila ditinjau dari rangkaian kata secara utuh, maka maknanya adalah

لاَ مَعْبُوْدَ بِحَقٍّ إِلاَّ الله

“Tiada yang diibadahi dengan benar (haq)melainkan Allah semata.”

Di sini لاَ إِلهَ sebagai nafyu (peniadaan) atas segala yang diibadahi selain Allah, kemudian إِلاَّ الله sebagai itsbat (penetapan) bahwa seluruh ibadah hanyalah milik Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dalam hal ibadah, sebagaimana tiada sekutu bagi-Nya dalam hal kekuasaan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (ilah/sesembahan) yang haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka ibadahi selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Hajj: 62)

Jadi, ilah/ma’bud (sesembahan) yang haq hanyalah Allah ‘azza wa jalla satu-satu-Nya, tiada sekutu bagi-Nya. Adapun selain Allah, memang ada yang diibadahi yang disebut ilahjuga, namun mereka adalah ilah yang batil. Adapun penyebutannya sebagai ilah hanya semata-mata penyebutan/penamaan saja, yang tidak ada hakekatnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kalian dan bapak-bapak kalian mengadakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah/mengibadahi)nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Rabb mereka.” (QS. An-Najm: 23)

Oleh karena itu, dakwah para rasul – sebagaimana keterangan ayat-ayat di atas – adalah dengan satu redaksi yang sama, yaitu:

“Beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) yang haq selain Dia.”

Atau dengan redaksi yang disampaikan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam,

“Sesungguhnya aku berlepas diri dari semua yang kalian sembah/ibadahi, kecuali (Allah) yang menciptakanku.” (QS. Az-Zukhruf: 26)

Ini semua merupakan tafsir/penjelasan dari makna kalimat tauhid Laa ilaha illallah.

Al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah – penulis kitab Subulus Salam, seorang ‘ulama terkenal dari negeri Yaman – mengatakan, “Prinsip Kedua: Bahwa para rasul dan para nabi utusan Allah – mulai dari nabi/rasul pertama hingga yang terakhir – mereka semua diutus untuk berdakwah (mengajak) kepada prinsip mentauhidkan Allah, yaitu dengan memurnikan peribadatan (hanya kepada-Nya). Masing-masing rasul, dakwah pertama yang mereka serukan kepada umatnya adalah, “Wahai kaumku, beribadahlah kalian kepada Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian sesembahan (ilah/ma’bud) selain Dia.”; “Janganlah kalian beribadah kecuali kepada Allah.”; “Beribadahlah kalian kepada Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku.” Dakwah tersebut merupakan kandungan makna kalimat Laa ilaha illallah. Para rasul mengajak umatnya untuk mengucapkan kalimat tersebut dengan disertai keyakinan terhadap maknanya, tidak sekedar mengucapkannya dengan lisan. Makna kalimat tersebut adalah: Mengesakan Allah dalamilahiyyah (hak-Nya sebagai ilah) dan ‘ubudiyyah (peribadatan), serta meniadakan (mengingkari/menolak) segala sesuatu yang diibadahi selain-Nya diiringi sikap berlepas diri dari sesuatu tersebut.

Prinsip ini tidak diragukan akan kebenarannya, dan tidak diragukan pula bahwa iman seseorang tidak akan terwujud sampai ia mengetahui makna kalimat tauhid tersebut dan merealisasikannya.” (lihat Tathirul I’tiqad min Adranil Ilhad, karya Al-Imam Ash-Shan’anirahimahullah).

Maka sangat disesalkan, apabila ada seorang muslim yang dengan lancar mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah dalam do’a dan dzikir-dzikirnya, namun ibadah yang ia lakukan tidak murni untuk Allah subhanahu wa ta’ala. Ibadahnya masih tercampur dengan ibadah kepada selain Allah. Misalnya, ia masih menyandarkan nasib untung dan sialnya kepada jimat, ia masih datang ke tempat-tempat keramat dengan keyakinan dapat memperlancar rizki dan hajat-hajatnya yang lain. Tentu saja perbuatannya itu bertentangan dengan kalimat Laa ilaha illallah yang sering ia lantunkan dalam do’a dan dzikirnya.

Wallahu a’lam bish shawab.

Oleh: Ustadz Ahmad Alfian hafizhahullaahu ta’ala